Mungkinkah Indonesia Menggunakan Sistem Hukum Pidana Islam?
Indonesia merupakan Negara dengan penduduknya mayoritas Islam. Berdasarkan data globalreligiusfuture, penduduk Indonesia yang beragama Islam pada tahun 2010 mencapai 209,12 juta jiwa atau sekitar 87% dari total populasi. Kemudian pada tahun 2020, penduduk muslim Indonesia diperkirakan akan mencapai 229,62 juta jiwa. Namun ironisnya adalah Indonesia tidak menerapkan Hukum Islam sebagai landasan bernegara secara kaffah. Hal yang dapat dimaklumi bahwa Indonesia memiliki kemajemukan dalam aspek agama, suku, ras dan juga budaya.
Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia hanya sebuah wacana yang tidak berujung. Efek jera yang seharusnya menjadi gol terakhir dalam pemidanaan menjadi bias, bahkan banyak pelaku tindak kriminal yang kemudian mengulangi perbuatannya. Hukum pidana nasional memiliki kelemahan yang signifikan dalam memberikan efek jera terhadap para pelaku tindak kriminal.
Jika melihat sekilas bentuk hukuman dalam Pidana Islam misalnya, pencuri yang mencapai nishab dipotong tangannya, pezina dirajam dan dijilid, perampok disalib, pembunuh harus dibunuh, koruptor harus dipotong tangan dan kakinya dengan cara silang dan disalib, lalu diasingkan keluar dari tempat tinggalnya serta berbagai hukuman lain.
Dari penjelasan diatas, memang hukum Islam sebenarnya jauh lebih baik untuk mendapatkan efek jera dan tidak akan dilakukan oleh masyarakat lain. Di Arab sendiri, hukuman mati disaksikan oleh masyarakat agar mereka tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh orang yang sedang dihukum.
Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara konstitusional sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti dengan instrumen hukum untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP di atas, posisi HPI belum terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan teoritis, mana hukum pidana yang dapat ditegakka. (Abdullah, 2001: 246).
Harapan untuk mengembangkan syariat Islam di Indonesia sudah lama terniatkan, sejak hukum pidana positif berkembang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Para perumus bangsa (The Founding Fathers) kita sudah merencanakan untuk diberlakukannya syariat Islam di Indonesia. Namun, dengan mendasarkan pada pluralitas penduduk Indonesia, rencana itu tidak terwujud dan kemudian menjadkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Hukum yang berlaku di Indonesia biasa disebut hukum positif. Tapi, hukum Islam tetaplah berlaku di Indonesia bagi yang beragama Islam. Hukum itu harus dilaksanakan dan ditaati, jika tidak, maka akan berdosa. Adapun hukum Islam yang sudah diakui secara nasional yaitu, hukum perkawinan, waris, hibah, wakaf, dan sedekah.
Sedangkan dalam masalah hukum pidana, menurut saya, bisa saja diberlakukan di Indonesia, meskipun cukup sulit dan belum tentu seluruh rakyat Indonesia yang beragama Islam akan menyetujuinya. Pasti ada saja pro dan kontra di dalamnya. Dalam ilmu hukum ada yang dikenal dengan sebutan "pilihan hukum" atau choice of law. (https://www.slidshare.net)
Pilihan hukum ini bisa digunakan dalam pemberlakuan hukum pidana Islam yang bisa diwujudkan di Indonesia. Dengan cara, memberikan pilihan kepada seseorang yang melakukan pelanggaran, misalnya mencuri. Misalnya seseorang yang mencuri ataupun orang yang melakukan jrimah dan tertangka, saat diperiksa oleh penyidik, makan akan diberikan pilihan oleh penyidik. Apakah orang tersebut ingin dihukum menggunakan hukum positif yang ada di Indonesia atau berdasarkan syariat Islam.
Hal tersebut sebenarnya bisa dilaksanakan, selama ada keinginan dari pemimpin negara. Karena mayoritas pemimpin yang ada di Indonesia juga beragama Islam. Seperti pada negara Malaysia, mereka ada menggunakan syariat Islam pada masalah jinayah. Meskipun tidak murni diterapkan oleh mereka dan sanksinya pun masih dibatasi oleh hukum federal (Makhrus Munajat, 2009: 395)
Bahkan ada yang berpendapat, hukum Islam sudah berlaku.meskipun memang tidak secara keseluruhan. Berikut rasionalisasi-rasionalisasi yang mendukungnya: (kumparan.com)
Pertama, landasan filosofis syariat islam yang diejawantah melalui asas-asas hukum islam memuat tiga asas umum, yaitu (1) asas keadilan. (2) asas kepastian hukum. (3) asas kemanfaatan. Dalam doktrin hukum positif asas tersebut sejalan dengan tiga teori tujuan hukum yang dianut di Indonesia yaitu (1) teori etis: Keadilan. (2) teori yuridis-formal : kepastian hukum. (3) teori utilitis : kemanfaatan. Selain itu asas keadilan juga merupakan hal yang prinsipil dalam praktek peradilan Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dalam setiap kepala putusan / irah-irah yang dibacakan hakim selalu disebutkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kedua, ada irisan kesesuaian antara asas hukum pidana islam dengan asas hukum pidana Indonesia. (1) Hukum pidana Islam didasarkan asas legalitas : “dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul”. (QS Al-Isra : 15). Hukum pidana Indonesia juga berdasarkan atas asas legalitas : “nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali, artinya : suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Vide Pasal 1 ayat (1) KUHP. (2) Hukum Pidana Islam berasas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain, dalam surat al-Muddatssir: 38 dinyatakan bahwa setiap diri bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Asas tersebut sesuai dengan asas hukum pidana Indonesia tentang pertanggungjawaban pidana yang bersifat individual artinya pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan kesalahan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain. (3) Jika hukum Islam didasarkan pada asas praduga tidak bersalah, maka hukum pidana Indonesia juga didasarkan atas asas praduga tak bersalah (presumption of innocene), seperti diatur dalam Pasal 8 ayat (1) jo Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Ketiga, begitu juga jika syariat isla ditinjau dari sudut pandang mazhab Syafi’i, maka syariat islam sudah berlaku di Indoensia. Berikut legitimasi doktrinalnya. Dalam mazhab Syafi’i syariat islam diklasifikasikan menjadi empat bagian: (1) Rub’ul Ibadah, mengatur / mengkaji tentang masalah ibadah. Konstitusi Indonesia menjamin setiap masyarakat untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. apakah ada aturan yang melarang shalat? melarang zakat? atau ada aturan yang melarang ibadah haji? Tentu tidak ada aturan demikian. Selain itu sebagai pengejawantahan UUD 1945 diatur beberapa undang-undang yang merepresentasikan syariat islam, antara lain UU Zakat (UU Nomor 23 Tahun 2011) dan UU Penyelenggaran Ibadah Haji (UU Nomor 13 Tahun 2008). (2) Rub’ul Mu’amalah, mengkaji tentang masalah jual beli atau perekonomian. Dalam hukum positif Indonesia telah diundangkan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang pada pokoknya mengatur pola transakasi keuangan / perbankan dengan menggunakan prinsip syariah. (3) Rub’ul Munakahah, mengatur segala permasalahan tentang pernikahan. Indonesia telah memiliki instrumen hukum dan institusi pernikahan yang didasarkan atas perintah syariat islam diantaranya diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, juga pelembagaan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai institusi tunggal pencatat pernikahan / perkawinan bagi penduduk yang beragama islam.
(3) Rub’ul Jinayat mengatur tentang permasalahan hukum pidana. Titik temu antara jinayat dengan hukum pidana Indonesia secara substantif dapat dilihat dari dua hal (a) Pemberian hukuman bagi yang melakukan pembunuhan berencana: jika dalam jinayat ada hukuman qishas, maka sama halnya dengan praktek pidana mati dalam hukum pidana Indonesia (vide Pasal 340 KUHP). (b) Penerapan keadilan restoratif (restorative justice) dalam proses peradilan anak di Indonesia. Gagasan konstruktif konsep keadilan restoratif ini memiliki kesamaan dengan konsep diyat dalam hukum pidana islam. Konsep diyat memungkinkan adanya penggantian hukuman dari qishas menjadi ganti rugi dengan terlebih dahulu dilakukan musyawarah antara keluarga pelaku dengan keluarga korban. Begitu pula dengan konsep keadilan restoratif yang mengalihkan proses pemidanaan secara formal melalui jalur pengadilan (litigasi), menjadi di luar pengadilan (non litigasi) dengan berpatokan pada asas kekeluargaan.
Dari beberapa pemaparan diatas, ada pula yang mengatakan sudah ada beberapa hukum pidana Islam yang digunakan. Meskipun memang benar benar tidak sesuai dengan jinayah yang sesungguhnya. Seperti halnya dengan qishash yang menyerupai hukuman mati.
Jadi, memang memungkinkan bagi Indonesia untuk menjalankan hukum pidana Islam di Indonesia.
Comments
Post a Comment